ANALISA MASYARAKAT PEDESAAN STUDI KASUS MASYARAKAT KAMPUNG NAGA








Sebelum kita memasuki kampung naga, sangat dianjurkan untuk meminta ijin terlebih dahulu pada sesepuh kampung. Selain meminta persetujuannya, diharapkan agar masyarakat kampung naga tidak merasa terganggu akan kedatangan kita.

Gambaran Umum Lokasi

Letak Kampung Naga
Kampung Naga secara administratif berada di Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Wilayah sebelah barat dibatasi hutan keramat, sebelah selatan dibatasi oleh sawah penduduk, serta sebelah timur dan utara dibatasi oleh sungai ciwulun yang berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut.
Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya 26 kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah di tembok (sengked) sampai ketepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam Kampung Naga.
Bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur. Luas tanah pemukiman Kampung Naga yang ada seluas satu hektar setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali. Masyarakat umumnya adalah petani dan bergantung hidup penuh pada alam. Mereka mengerjakan sawah masing-masing atau menjadi buruh tani dari saudara sekampung yang lebih makmur. Untuk menambah penghasilan ada warga Kampung Naga yang beternak ikan dikolam, beternak ayam dan kambing serta menjual hasil kerajinan anyam-anyaman.

Agama
Penduduk Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam, tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya, walaupun mereka menyatakan memeluk agama Islam, syariat Islam yang mereka jalankan agak berbeda dengan pemeluk agama Islam lainnya.
Praktek ibadah yang mereka lakukan antara lain:
(1) sembahyang lima waktu: Subuh, Duhur, Asyar, Mahrib, dan solat Isa, hanya dilakukan pada hari Jum'at. Pada hari-hari lain mereka tidak melaksanakan sembahyang lima waktu.
(2) Dalam menunaikan rukun Islam yang kelima atau ibadah Haji, cukup dengan menjalankan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan Idul Adha yaitu setiap tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah). Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan Idul Adha dan Idul Fitri.
Masyarakat Kampung Naga sangat percaya pada keberadaan mahluk halus, antara lain:
(1) jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam ("leuwi"). "ririwa" yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari. "kunti anak" yaitu mahluk halus yang suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan.
(2) Tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian juga makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi ageung dan masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga.
(3) kepercayaan bahwa ruang atau tempat yang memiliki batas tertentu dikuasai oleh kekuatan tertentu pula, seperti batas sungai, tempat air masuk (huluwotan).

Bangunan
Rumah masyarakat Kampung Naga berbentuk panggung dengan bahan rumah harus dari bambu dan kayu walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong). Atap rumah dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang sedangkan lantai rumah terbuat dari bambu atau papan kayu. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Rumah menghadap kesebelah utara atau selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur.
Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.

Pengetahuan lokal/indigenous knowledge

Suku Naga adalah suku unik yang tinggal di Kampung Naga. Walaupun hanya masyarakat kecil, suku ini menarik perhatian orang luar. Hal ini karena mereka masih kukuh menganut adat istiadat yang diturunkan nenek moyang mereka.
Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kampung naga antara lain:

Kebersamaan
Memasuki wilayah perkampungan Naga, terlihat sekali ornament bangunan yang sudah langka kita temukan pada masyarakat sunda saat ini. Bentuk dan posisinya yang seragam antara rumah satu dengan yang lain. Rumah panggung, berbahan baku dari kayu dan bambu serta beratapkan Injuk (dari pohon Aren) yang katanya diambil langsung dari hutan sekitar Naga. Terdapat 111 jumlah bangunan, yang terdiri dari 109 rumah hunian sebuah mesjid dan sebuah aula pertemuan yang kesemuanya menghadap kearah Timur.
Alasan mendirikan rumah panggung agar menjaga tidak ada kecemburuan sosial pada masyarakat, lagi pula jika mendirikan rumah permanent akan mengeluarkan biaya yang cukup besar. Untuk jumlahnya sendiri masyarakat Naga tidak akan menambah jumlah rumah yang ada, karena keterbatasan lahan serta telah menjadi hukum adat. Sedang alasan mengapa semua bangunan menghadap kearah timur, selain menyesuaikan dengan keadaan lahan dan menjaga kebersihan juga agar sinar matahari bisa langsung sampai kedalam rumah-rumah tanpa terhalangi oleh bangunan yang lain.
Bangunan di kampung naga tidak boleh ditambah karena keterbatasan lahan yang hanya 1,5 ha. Tetapnya jumlah bangunan tempat tinggal/rumah berakibat bila seorang warga kampung naga menikah, mereka harus tetap tinggal di rumah orang tuanya. Bila mereka sudah memiliki biaya untuk membangun rumah sendiri, mereka dapat keluar dari rumah orang tuanya dan membangun rumah diluar kampung naga. Hal ini menyebabkan 70% warga kampung naga hidup diluar kampung.

Kerjasama
Prinsip gotong royong juga mereka anut sebagai pegangan hidup masyarakat dimaksudkan karena mereka beranggapan bahwa sikap gotong royong merupakan hal paling penting dan utama yang harus terus dijaga dalam berkehidupan. Hal ini karena tidak satu pekerjaan dapat diselesaikan secara individu kecuali dengan bantuan orang lain. Sebagai contoh, dalam acara perkawinan, pembangunan/rehab rumah tinggal, sunatan, ataupun hajat-hajat yang dilaksanakan oleh seseorang. Secara sukarela dan tanpa paksaan masyarakat lain akan turut serta mambatu orang yang mempunyai hajat sehingga dapat meringankan beban dari orang tersebut sehingga dapat melaksanakan hajatnya sesuai dengan yang diharapkan.
Untuk membuat sebuah rumah, hampir semua masyarakat ikut bergotong royong dalam pengerjaannya, sehingga pada proses pengerjaannya tidak menggunakan kuli bangunan.
Sejak kecil warga dididik untuk hidup bergotong royong dengan sesama warga karena mereka semua saudara yang berasal dari Moyang Sembah Dalem Eyang Singaparna. Menjalani kehidupan dalam Kampung Naga yang penuh dengan aturan norma dan nilai tidak pernah dikeluhkan warga masyarakat. Karena aturan yang ada sudah mendarah daging dan dijadikan pedoman dalam berperilaku.

Kesederhanaan
Kesederhanaan dapat dilihat dari bentuk bangunan dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong), tetapi rumah masyarakat kampung naga dibuat dari bahan yang dapat diperoleh dari lingkungan sekitar seperti bambu, kayu, ijuk, daun nipah dan alang-alang.
Kepemilikan barang-barang rumah tangga bukan merupakan keharusan, walaupun mampu untuk membeli.
Disebelah pinggir utara kampung, berderet beberapa kolam-kolam ikan yang sengaja dibuat warga. Walaupun telah menggunakan tembok untuk pinggirnya, namun hampir disetiap kolam memiliki jamban (pacilingan) yang masih terbuat dari anyamam bambu. Jamban tersebut dipergunakan warga sebagai tempat MCK. Meski sederhana namun masyarakat naga telah memandang kesehatan sebagi suatu kebutuhan utama.

Pelestarian lingkungan
Kolam, sawah dan kebun tidak pernah kering walaupun dimusim kemarau yang kering sekalipun. Hal ini disebabkan karena hutan disekitar kampung selalu dijaga kelestariannya. Selama musim hujan, hutan yang lebat ini dapat menyimpan air hujan sehingga mencegah banjir, simpanan air hujan cukup untuk menyediakan air sepanjang musim kemarau. Untuk itu semua warga dilarang menebang pohon didalam hutan, bahkan mengumpulkan ranting kayu yang sudah kering pun tidak diperbolehkan. Kayu bakar diambil dari kebun/lahan sendiri.
Masyarakat yang hidup dilandasi kearifan lokal. Dengan memegang teguh budaya pamali, pelestarian hutan di kampung ini bisa menjadi contoh. Pamali adalah pantangan atau larangan yang jika dilanggar akan menyebabkan bencana. Dengan pantangan itulah, warga Kampung Naga, hingga kini mampu menjaga hutannya tetap lestari.
Ketua Adat Kampung Naga mengatakan, warganya berusaha membiarkan kondisi hutan disekitar Kampung Naga. Tidak ada warga yang berani mengambil ranting sekalipun. Mereka membiarkan ranting jatuh hingga hancur dan menyatu dengan tanah. Dengan memegang adat pamali, yaitu tidak mengambil kayu dari hutan, ada banyak manfaat yang bisa dirasakan. Sumber air terjaga, terhindar dari bencana longsor, makam leluhur juga aman.
Warga pun jarang masuk ke hutan di kawasan Kampung Naga itu, termasuk hutan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Ciwulan. Di Kampung Naga, hutan tidak dijaga malah benar-benar dibiarkan. Namun, masyarakat mempunyai kesadaran bahwa ada adat istiadat yang memang menjadi pegangan, yaitu hutan harus dilestarikan. Warga Kampung Naga meyakini adanya semacam kutukan jika sampai berani menebang pohon atau mengambil ranting dari hutan keramat yang ada di sekitar mereka.

Inovasi

Masyarakat kampung naga terbuka dan menerima inovasi teknologi baru sepanjang tidak mengubah tatanan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat dan teknologi baru tersebut memberikan nilai positif serta menguntungkan.

Bidang Pertanian
Inovasi dibidang pertanian yang dapat diterima oleh masyarakat kampung naga antara lain:
(1) masyarakat kampung naga telah mengetahui bahwa penggunaan pupuk (anorganik dan organic) dapat meningkatkan hasil/produksi tanaman. Tetapi tidak semua masyarakat menggunakan pupuk anorganik dengan alasan sulit untuk membawa pupuk anorganik ke lokasi pertanaman serta sebagian besar masyarakat menganggap penggunaan pupuk anorganik dapat merusak lingkungan.
(2) Masyarakat mengetahui bahwa penggunaan mesin perontok dan penggiling padi (RMU) akan lebih cepat jika dibandingkan dengan cara tradisional. Namun alat tersebut tidak mereka gunakan karena dengan menggunakan lesung, penyusutan hasil lebih sedikit dan rasa nasi lebih enak jika dibandingkan dengan mengunakan RMU. Pada perayaan-perayaan yang dilakukan di kampung naga yang membutuhkan beras dalam jumlah banyak, mereka menggunakan mesin penggiling yang dilakukan di luar kampung.
(3) Sistem pemeliharaan kambing secara intensif telah dilakukan oleh masyarakat kampung naga. Dengan pemeliharaan intensif (dikandang), kotoran ternak akan terkumpul pada akhirnya digunakan sebagai sumber pupuk organik.

Bidang Informasi
Inovasi dibidang informasi yang dapat diterima oleh masyarakat kampung naga adalah pemanfaatan media elektronik seperti TV dan radio sebagai sumber informasi, walaupun penggunaan TV terbatas pada TV hitam putih.
Untuk mempermudah mereka berkomunikasi maka oleh sebagian orang juga menggunakan telepon seluler (HP) sebagai satu-satunya alat komunikasi yang bisa dimanfaatkan didaerah setempat.
Mekanisme Penyerapan/penolakan Inovasi

Letak Kampung Naga yang tidak jauh dari kampung lain di Tasikmalaya menyebabkan masyarakat kampung naga dengan mudah keluar kampung untuk mencari sesuatu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini menyebabkan pengetahuan tentang teknologi baru dapat dengan mudah diperoleh. Selain itu, pengetahuan khususnya dibidang pertanian juga mereka peroleh dari penyuluh pertanian yang melakukan kunjungan ke lokasi. Untuk penyuluhan dengan mengumpulkan orang banyak dilakukan diluar kampung naga.
Masyarakat Kampung Naga sangat taat menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.
Berdasarkan hal tersebut pada dasarnya, masyarakat kampung naga tidak menolak inovasi yang ada dengan syarat bahwa inovasi tersebut tidak bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku. Serta tidak ada pemaksaan dalam penerapan inovasi itu sendiri.
Dalam hal ini, walaupun masyarakat menerima media elektronik sebagai sumber informasi tetapi jenis dan tipe media sangat ditentukan. Sebagai contoh TV yang diperolehkan hanya TV hitam putih dengan alasan:
(1) Harga TV hitam putih terjangkau oleh semua masyarakat kampung naga.
(2) Harga TV hitam putih relative sama tidak seperti TV berwarna yang bervariasi baik tipe dan harganya. Hal tersebut dapat menimbulkan kecemburuan social yang pada akhirnya merusak kehidupan masyarakat.
Masyarakat kampung naga sangat tergantung pada lingkungannya sehingga mereka percaya bahwa dengan menjaga kelestarian lingkungan akan menjaga kelangsungan hidup mereka. Berdasarkan hal tersebut, inovasi yang diterima oleh masyarakat harus dapat menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini menyebabkan beberapa inovasi ditolak, sebagai contoh:
(1) Penggunaan traktor, RMU atau penggiling padi, menurut masyarakat dapat menimbulkan polusi udara dan kebisingan.
(2) Listrik di Kampung Naga tidak ada untuk penerangan mereka menggunakan lampu teplok yang digantung di dinding. Penggunaan alat seperti televisi yang dihidupkan dengan aki dan radio menggunakan batterai. Alasan mereka tidak menggunakan Listrik karena dikhawatirkan apabila terjadi kebakaran disalah satu rumah maka dapat merembet ke tempat lain dengan cepat karena bahan bangunan yang terbuat dari bambu dan atap ijuk. Disamping itu dengan adanya listrik, warga yang mampu cenderung untuk memiliki perlengkapan rumah tangga yang lebih sehingga dapat menimbulkan kecemburuan sosial dalam masyarakat.
(3) Irigasi sebagai sarana pengairan untuk tanaman padi diterima karena mereka mengetahui bahwa padi sangat bergantung pada air, dengan air yang cukup hasil yang diperoleh juga akan lebih baik. Disamping itu dibangun tembok penahan air sepanjang aliran sungai.
(4) Teknik pembuatan kerajinan tangan tersebut sudah ada dari dulu secara turun temurun, akan tetapi perlu diberikan pelatihan dalam rangka perbaikan mutu hasil produk sehingga dapat bersaing dipasaran. Dalam pelatihan diberikan pengetahuan baru berupa cara/teknik pembuatan kerajinan tangan dan pembuatan kripik kulit ubi. Masyarakat Kampung Naga sudah terbiasa mengkonsumsi ubi sebagai makanan selingan, namun sebelum adanya teknologi tersebut, kulit ubi tergolong limbah dan tidak termanfaatkan. Setelah diketahui teknologinya, kulit ubi sudah menjadi salah satu bahan penganeka-ragaman pangan lokal. Proses pengadopsian teknologi tersebut oleh masyarakat dinilai sesuai dan tidak dikhawatirkan akan merubah nilai-nilai posistif dalam sistem sosial.

Mekanisme Pelestarian Pengetahuan Lokal

Untuk melestarikan pengetahuan atau norma nilai yang ada mereka mengacu pada prinsip amanah, wasiat dan akibat. Amanah yang berati bahwa apa yang diwariskan/diamanahkan turunan terdahulu harus ditaati sebagai suatu wasiat karena apabila tidak maka yang melanggar akan mendapat akibat dari perbuatannya dalam bentuk hukuman adat maupun hal-hal lain yang dapat terjadi tanpa diduga sebelumnya.
Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya. Pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah.
Dalam mengatur kehidupan masyarakat terdapat dua lembaga yaitu lembaga formal dan non formal. Lembaga formal yaitu Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) memiliki fungsi pengaturan yang berhubungan dengan pengaturan kehidupan berwarga Negara Indonesia, ketua RT yaitu Bapak Risman dan ketua RW yaitu Bapak Okin. Sedangkan lembaga non formal yaitu kuncen yang merupakan pemangku adat yaitu Bapak Ade Suherlin, punduh yang mengurus segala hal yang berkaitan dengan tingkah laku dan pekerjaan (bangunan, masjid, saluran air) yaitu Bapak Maun, serta Lebe yang mengurus jenazah dari awal sampai akhir yaitu Bapak Ateng.
Dengan adanya kedua lembaga tersebut, kehidupan dan norma yang ada dalam masyarakat kampung naga dapat terjaga.

Good Practices

Meskipun inovasi dari luar sistem sosial relatif terbatas yang diadopsi, namun dalam memenuhi kebutuhannya masyarakat juga melakukan inovasi dalam bentuk prakter-praktek yang dinilai baik (good practices) sebagai hasil belajar sesama petani, dan alam lingkungannya diantaranya :
(1) Model kandang kambing yang berbentuk panggung dan terdapat tempat pakan, mempermudah petani dalam mengumpulkan kotoran kambing yang kemudian dicampur dengan bahan organik lainnya (daun-daunan, sampah, batang pisang, gabah, abu tungku dll) selama 6 bulan, selanjutnya dimanfaatkan sebagai pupuk pada tanaman padi atau kebun;
(2) Pelestarian benih padi dengan cara melakukan seleksi mulai padi yang baik untuk dijadikan benih (pengetahuan turun-temurun) berdasarkan kriteria tertentu. Jenis varietas yang diseleksi adalah lokal putih (locan, sari kuning dan jaulang) dan lokal merah (gantan dan cerai);
(3) Tempat penumbuk padi yang terletak di atas kolam, menunjukkan bahwa kehilangan hasil akibat proses penumbukan padi dapat dimanfaatkan sebagai pakan ikan.
(4) Pemanfaatan jerami padi sebagai pupuk organik dilakukan dengan cara meletakkan batang padi setelah panen dilahan agar terjadi pembusukan (dekomposisi);
(5) Pemanfaatan daun albasia (sengon), daun bambu atau singkong kupas bakar, sebagai obat pada ternak kambing yang menceret (diare). Daun pinang sebagai obat pada ternak kambing yang menderita penyakit kudis. Sari buah pinang sebagai obat pada ternak kambing dan ayam yang menderita penyakit cacingan.
(6) Penggunaan anyaman sasah (tembus pandang) dibelakang tungkuh dapur yang bertujuan mengontrol terjadinya bahaya kebakaran, dan sebagai ventilasi.
(7) Pemanfaatan daun bambu sebagai pakan ternak kambing. Selain batangnya sebagai bahan baku kerajinan, daunnya juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
(8) Sampah terlebih dahulu dibakar untuk mengurangi pencemaran air.

Lesson Learned

Dari uraian diatas terlihat bahwa, masyarakat kampung naga sangat memegang teguh adat istiadat. Setiap larangan harus ditaati dan jika dilanggar maka adat yang akan mengambil tindakan. Manfaat dari setiap aturan tidak lain adalah untuk kepentingan masyarakat.
Larangan adanya tempat-tempat tertentu yang tidak boleh dijamah oleh manusia yang dikatakan “Pamali” tersebut adalah hutan yang letaknya dibelakang pemukiman dan diseberang sungai serta daerah sekitar air terjun yang ada didekat perkampungan.
Nilai/norma tersebut ternyata sangat bermanfaat karena dengan adanya larangan tersebut maka kelestarian hutan pada tempat-tempat yang dilarang tetap terjaga. Adanya larangan untuk memasuki hutan tersebut baik pendatang maupun penduduk kampung naga (kecuali pemangku adat), bila ditinjau dari aspek pelestarian hutan kemungkinan dimaksudkan agar tanaman yang ada tidak ditebang yang dapat menyebabkan hutan gundul dan mempermudah terjadi erosi dan banjir besar yang dapat berakibat pada kerusakan lingkungan terutama perkampungan mereka.
Pemahaman individu atau masyarakat terhadap penciptaan keselarasan dalam lingkungan hidupnya merupakan referensi dalam mewujudkan tingkah laku (perilaku) dalam berinteraksi, baik terhadap alam maupun hubungan sosial. Pengetahuan terhadap aturan, nilai, dan norma merupakan suatu kesatuan dalam membentuk suatu tatanan, tentang cara-cara berbuat baik (etika) dalam berinteraksi terhadap alam sekitarnya. Orang yang bertindak tidak sesuai dengan kebiasaan umum berdasarkan aturan, norma dan nilai yang diakui oleh masyarakatnya dikatakan sebagai orang tidak baik atau dianggap melanggar etika atau tidak berbudaya.
Kesadaran akan pentingnya keselarasan sebagai kebutuhan rohani dan pragmatis, serta pemahaman etika dalam berperilaku membentuk suatu sinergi dalam membangun peradaban (budaya) yang spesifik. Pemahaman pemikiran terhadap lingkungan yang terbatas, serta etika sosial yang harus dipatuhi, mendorong masyarakat untuk membentuk pola-pola perilaku dengan cara bertindak yang sama dari orang-orang yang hidup bersama dalam memanfaatkan sumberdaya guna melangsungkan kehidupannya dan menempatkan diri dalam suatu eksistensi tertentu.
Tradisi merupakan pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat dan kaidah-kaidah yang dapat dinyatakan sebagai “inti kebudayaan” (culture core) termasuk sistem nilai yang menunjukkan aturan hubungan timbal balik yang ada dalam masyarakat. Ketaatan masyarakat terhadap tradisi membentuk pola perilaku secara mandiri, demikian juga terhadap etika sosial membentuk cara bertindak yang relatif sama diantara sesama warga misalnya bangunan rumah (model, warna dan bahannya), membuat kerajinan tangan (model, motif dan bahannya), berusahatani padi (bibit dan teknik budidayanya), beternak kambing (bibit dan teknik pemeliharaannya), memelihara ikan air tawar (bibit dan cara budidayanya), dan membuat pupuk organik (bahan baku dan komposisinya). Aktivitas harian tersebut membentuk satu pola tradisi untuk menjaga keselarasan agar tidak tercipta persaingan antara anggota masyarakat, selanjutnya dipererat dengan jiwa kegotong-royongan yang merupakan bentuk saling menolong dan saling berbagi antar sesama.
Dalam mempertahankan norma dan nilai warisan nenek moyang keterlibatan semua pihak sangat diperlukan yaitu adanya peran kelembagaan baik formal (berkaitan dengan pemerintah Negara) dan non formal (berkaitan dengan pengaturan kehidupan, norma dan nilai dalam masyarakat) serta kesadaran individu itu sendiri untuk mengikuti norma yang berlaku.

Comments

  1. Sip Mbak.. kebetulan saya lagi menulis tentang kearifan lokal buat seminar nasional di Unmer Malang.. Mbak, punya tulisan versi pdf atau word nya? tulisan ini pernah dimuat di Jurnal ?

    Oya, salam kenal, Johanes.. Planologi Unibraw Malang
    ernestsiregar@yahoo.com

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

SUKARELAWAN, KELOMPOK DAN ORGANISASI SUKARELA

Perbedaan tiga teori belajar (Discovery Learning, Cognitive Learning, dan Experiential Learning

PERBEDAAN METODE BELAJAR MENGAJAR ANTARA GURU DAN PENYULUH