PERKEMBANGAN PRIBADI DAN SOSIAL
Tugas mata kuliah Psikologi Belajar Mengajar ini Disarikan dari buku Thomas L. Good dan Jere E. Brophy. Educational Psychology-Realistic Approach Chapter V Sosial and Personal development. Longman. New York dan London
PENDAHULUAN
Sebagai individu, manusia tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan merupakan suatu proses perubahan kuantitatif dalam diri individu, misalnya dari kecil menjadi besar. Sedangkan perkembangan merupakan suatu proses perubahan kualitas dalam diri individu. Pertumbuhan maupun perkembangan seseorang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya permasalahan dalam setiap tahap perkembangan dan cara mengendalikan permasalahan tersebut. Oleh karena itu tugas utama dari seorang pendidik adalah memberi fasilitas dan membantu anak dalam menghadapi masalah dalam setiap tahapan perkembangan.
PERBEDAAN FAKTOR GENETIK DAN FAKTOR LINGKUNGAN
Setiap proses perkembangan masing-masing individu memiliki pola yang khas, dimana tidak ada satu individu yang identik sama. Oleh karena itu, masing-masing anak akan tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang unik. Sebagai sebuah proses, perkembangan individu dipengaruhi oleh banyak faktor. Secara garis besar, faktor yang mempengaruh seseorang adalah faktor genetik dan faktor sosial.
Faktor genetik merupakan faktor dalam diri individu yang diwariskan dari orang tuanya meliputi bakat, pembawaan, potensi-potensi psikis dan fisik. Sedangkan faktor sosial merupakan faktor dari luar individu meliputi kondisi lingkungan yang terjadi dalam proses perkembangan baik yang mendukung maupun tidak.
Pertentangan terjadi antara para ahli untuk menyatakan faktor mana yang lebih berpengaruh pada pembentukan karakteristik/perilaku individu.
Sebagai contoh adanya pengaruh genetic/hereditas dalam perkembangan adalah adanya perbedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin. Pada kenyataannya, anak laki-laki cenderung lebih aktif, memiliki inisiatif, agresif dan berorientasi fisik dalam memanipulasi objek. Sedangkan anak perempuan, cenderung pada mengobservasi lingkungan daripada memanipulasi objek, dan mereka lebih memperhatikan, mendengarkan dan verbalizing. Anak perempuan juga cenderung lebih matang secara fisik terutama pengendalian psikologis sehingga cenderung untuk berfungsi secara efisien.
Besarnya pengaruh genetic bukan berarti mengecilkan pengaruh lingkungan. Pada kenyataannya seorang anak yang aktif dan memiliki saudara atau anak tua lebih memilih menghabiskan waktunya dengan bermain adu fisik, tetapi anak yang tidak memiliki teman bermain menghabiskan banyak waktunya untuk mengamati/mempelajari lingkungan fisik. Kenyataan tersebut didukung oleh Hesmann dkk. 1984; Patterson dan stouthamer-Loeber. 1984; dan Steinmetz.1977 yang menyatakan bahwa anak laki-laki yang dibesarkan dilingkungan yang brutal/sadis kemungkinan akan memiliki tindakan yang mengarah pada perkelahian dan tindakan yang tidak menyenangkan terhadap temannya (bullying). Sedangkan Maccoby dan Martin, 1983; Rohner dan nielsen, 1978; Staub, 1979) menyatakan bahwa anak-anak yang sama tapi dibesarkan dalam lingkungan yang menyenangkan, akan lebih manusiawi, cenderung menjadi percaya diri, tapi tidak agresif dan cenderung menjadi pemimpin. Berdasarkan hal tersebut, meskipun pengaruh biologi/genetik dapat dipastikan membentuk perilaku individu dan sosial, pengaruh lingkungan berinteraksi dengan genetic pada akhirnya mempengaruhi kebiasaan.
Pada beberapa kasus, kedua faktor tersebut memiliki pengaruh yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh pada dua kasus berikut: seorang anak yang lahir sempurna (tanpa cacat) apakah dapat dipastikan akan menjadi seorang periang apabila lingkungan selalu mencela semua perbuatannya. Atau apakah seorang anak yang lahir dalam kondisi cacat juga dapat dipastikan akan menjadi seorang yang periang apabila didukung oleh lingkungan yang nyaman. Dalam hal ini tidak dapat dipastikan mana yang lebih berpengaruh.
Oleh karena itu, dalam hal pendidikan atau proses belajar mengajar penting untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan individu baik genetik maupun lingkungan. Sehingga pendidik dapat menentukan sikap dalam menghadapi permasalahan di setiap tahapan perkembangan individu.
TEORI TAHAPAN ERICKSON
Erickson mengidentifikasi bahwa terdapat 8 tahapan dalam siklus hidup, dimana 6 tahap berada pada sebelum dan masa sekolah (termasuk universitas). Masing masing tahap mengandung permasalahan utama dalam perkembangan, dan keberhasilan dalam mengendalikan permasalahan yang terlihat sebagai gangguan dalam perkembangan secara umum selama dan setelah tahapan.
Delapan tahapan tersebut adalah
1. Tahap I yang disebut juga tahap awal kehidupan/bayi
Pada tahap ini, permasalahan terutama pada rasa percaya dan tidak percaya. Pada tahap ini, individu memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada orang lain.
2. Tahap II yang disebut juga awal masa kanak-kanak (bawah tiga tahun)
Pada tahap ini, permasalahan terutama pada keinginan akan kebebasan (otonomi) melawan rasa malu dan tidak mau kalah. Pengalaman manusia yang terdapat disini adalah transisi dari diperlakukan sebagai bayi yang selalu membutuhkan pertolongan menjadi anak-anak yang mampu dalam pengontrolan diri dan kemudian diharapkan untuk mematuhi aturan yang diberikan. Jika sosialisasi diberikan pada waktu dan metode yang tepat, anak-anak kemungkinan akan menerimanya dengan mudah tanpa merasa kehilangan kebebasan mereka.
3. Tahap III yang disebut juga pertengahan masa kanak-kanak
Pada tahap ini, terjadi masalah dalam rasa inisiatif melawan perasaan bersalah. Pada tahap ini anak cenderung berorientasi pada perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan sehingga seringkali menunjukkan alat kelaminnya pada orang lain. Pengalaman pada tahap ini merupakan usaha membangun ketertarikan pada dirinya, termasuk ketertarikan untuk menunjukkannya pada orang lain. Pada tahap ini, anak-anak perlu diperlakukan dengan keramahan dan selalu diberi dukungan untuk membangun rasa percaya diri dalam mengambil tindakan bila menemukan sesuatu yang baru dan menunjukkan. Jika aktivitas tersebut dibiarkan, anak-anak kemungkinan akan mengembangkan perasaan malu dan bersalah dan pada akhirnya memiliki perasaan ketakutan akan kesalahan atau penolakan pada kebebasan dalam menentukan dan pencapaian tujuan.
4. Tahap IV yang disebut juga tahap akhir masa kanak-kanak
Pada tahap ini, permasalahan terutama pada ketekunan/kerja keras melawan rasa rendah diri. Pada tahap ini Erikson menekankan pada perubahan akbat pindah dari rumah ke lingkungan sekitar/tetangga, kelompok, dan sekolah.
Perubahan ini menimbulkan peran baru dan anak-anak biasanya termotivasi untuk memenuhi peran tersebut. Dalam kelompok, individu belajar untuk bekerjasama, berbagi, dan bersama dengan orang lain. Di sekolah berarti menyelesaikan tugas sekolah dan berperan sebagai murid.
5. Tahap V yang disebut juga tahap remaja/puber
Sehubungan dengan pubertas, Erickson menulis tentang permasalahan dalam pembuktian kemampuan diri dan kekacauan peran. Erickson menyadari bahwa krisis identitas pada sebagian besar remaja seperti mereka mulai mempertanyakan tentang keyakinan, perilaku/kebiasaan dan sistem nilai yang telah mereka lakukan selama ini tanpa berpikir.
6. Tahap VI yang disebut juga tahap awal dewasa
Permasalahan utama pada tahap ini adalah kekariban melawan pengasingan diri.
7. Tahap VII yang disebut juga tahap pertengahan dewasa
Permasalahan pada tahap ini adalah menyamaratakan melawan ketidakaktifan. Pada tahap ini, orang dewasa berperasaan bahwa mereka memliki kemampuan untuk memiliki anak dan mengasuh anak tersebut dengan keuntungan dan kerugiannya.
8. Tahap VIII yang disebut juga tahap akhir dewasa
Fase terakhir, penggabungan melawan keputusasaan menunjukkan pada tingkatan dimana orang yang berumur menilai kematian adalah hal nyata. Pada individu yang berpikir positif tentang kematian dan dapat melihat kebelakang tentang kehidupan dengan rasa puas, mereka akan merasakan bahwa mereka sukses, bahagia dan berguna. Individu yang tidak dapat memecahkan permasalahan ini akan merasa ketakutan atau menolak kematian pada akhirnya mereka merasakan bahwa hidupnya penuh kegagalan.
PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN ANAK YANG EFEKTIF
Pengalaman manusia menunjukkan adanya tahapan perkembangan dan permasalahan akan dihadapi, kesiapan dalam merespon setiap permasalahan tergantung pada kualitas sosialisasi yang anak-anak peroleh, terutama kualitas orang tua di rumah. Berikut ini adalah prinsip-prinsip pembelajaran anak yang efektif sehingga diperoleh perkembangan anak-anak yang optimal:
1. Menerima anak sebagai individu
2. Berkomunikasi dengan ramah dan menciptakan hubungan yang bersahabat/baik
3. Metode yang digunakan dalam mengajarkan adalah perintah dengan memberi perhatian pada anak tidak hanya menerapkan disiplin saja.
4. Menerapkan aturan dan batasan yang jelas dengan masukan dari anak dan luwes dalam menanggapi.
5. Menunjukkan keinginan untuk memperhatikan anak yang melawan tanpa alasan “menyerah pada hukum”
6. Menjelaskan dengan alasan yang dapat diterima dan dapat dipercaya.
7. Penekanan utama pada aturan moral dan memberi perhatian pada dampak setiap tindakan.
8. Melaksanakan sebaik berbicara tentang sistem nilai
SOSIALISASI DALAM KELAS
Teori erickson tentang tahapan perkembangan individu sangat berguna bagi guru dalam menolong muridnyanya untuk dapat mengendalikan masalah di setiap tahapan perkembangan.
Sebagai contoh murid pada tingkat awal biasanya bergulat dalam krisis inisiatif melawan rasa bersalah dan ketekunan melawan rasa rendah diri. Pada tahap ini, guru dapat membantu anak-anak dengan rasa malu dan rasa bersalah melalui usaha untuk meyakinkan mereka untuk menemukan,cara dalam memuaskan keingintahuan mereka dengan menjawab pertanyaan, memberikan saran dan mengambil inisiatif. Selanjutnya, guru dapat mendukung murid bahwa kesalahan dan kerugian akibat kerja yang buruk adalah normal dan sudah diperkirakan bukan disebabkan oleh rasa malu dan rasa salah.
MEMBANGUN KONSEP DIRI POSITIF
Guru dapat menolong muridnya untuk membangun harga diri tinggi dan konsep diri positive dengan berkomunikasi positif dan memberi tanggapan yang positif. Terutama pada persepsi murid tentang kemampuan akademik mereka dan kecepatan perkembangannya. Konsep diri positif juga dapat dibangun pada kemampuan lain yang tidak secara langsung berhubungan dengan perintah. Beberapa murid memerlukan arahan dalam menerima penampilan fisiknya atau membangun kepedulian kepada yang lain (apa yang kamu pikir tentang perasaan dia saat kamu mengatakan itu padanya?), kepedulian sosial (apa yang orang lain pikirkan tentang kamu saat kamu mengecewakan dia).
Kemungkinan lain dalam menolong mereka untuk dapat mengendalikan dan membangun kekuatan/kemampuan mereka, menambah kepercayaan diri dan menutupi kelemahan, dan menerima keterbatasan.
Guru tidak memiliki kesempatan yang sama dengan orang tua untuk mempengaruhi murid karena keterbatasan waktu dan interaksi mereka terbatas pada peran guru dan murid. Felker (1974) menyarankan beberapa prinsip bagi guru yang ingin meningkatkan konsep diri sehat pada muridnya yaitu:
1. Menghargai dirimu sebagai contoh kekuatan diri untuk mencapai kesuksesan;
2. Menolong murid untuk dapat mengevaluasi diri mereka secara realistik;
3. Mengajarkan mereka untuk membuat tujuan yang dapat dicapai;
4. Mengajarkan mereka untuk menghargai diri mereka;
5. Mengajarkan mereka untuk menghargai orang lain.
Beberapa perlakuan akan menolong murid belajar untuk mengidentifikasi, menilai, dan mengambil keputusan dalam mencapai kesuksesan. Felker menyarankan bagi guru yang mengajar remaja untuk:
1. Membiarkan mereka untuk membuat pilihan dan belajar untuk menerima semua konsekuensinya, tetapi dengan hubungan saling mendukung;
2. Menolong mereka untuk dapat mengendalikan pubertasnya dengan menjelaskan apa yang terjadi pada perkembangan fisik, sosial, dan emosi mereka;
3. Menolong mereka melihat dan menerima kenyataan bahwa beberapa keputusan merupakan pilihan yang mudah atau solusi yang sempurna, jadi negosiasi selalu terbaik.
PERKEMBANGAN MORAL/ETIKA
Anak tidak begitu saja tumbuh menjadi individu yang bermoral/beretika, kemampuan dalam menggunakan prinsip-prinsip etika sebagai arahan bagi kebiasaan sampai mereka masuk ke dunia nyata. Kadang-kadang selama tingkat dasar, mereka menemukan apa itu ketuhanan/agama yang biasa disebut “age of reason”. Yang ditandai dengan persepsi pengetahuan/identifikasi tentang perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi pada saat ini.
Piaget (1932) salah seorang yang pertama kali mempelajari perubahan dalam etika individu yang diikuti perubahan dalam perkembangan pengetahuan. Piaget menyatakan bahwa anak-anak yang menjadi terlalu egois/mementingkan diri sendiri dan mengembangkan kemampuan pengetahuannya memerlukan pemikiran tentang keberadaan orang lain, mereka mulai mengerti konsep etika seperti keadilan.
TEORI TAHAPAN KHOLBERG
Kohlberg (1969, 1984) menyempurnakan pemikiran piaget dalam teori tahapan dalam perkembangan judgment etika. Beberapa tahun dia menggunakan kata yang berbeda-beda dan perubahan urutan dalam tahapan, tetapi kohlberg mengkasifikasikan 3 level dalam pemikiran tentang etika dengan 2 tahap dalam setiap level.
Level I: Etika Pra-konvensional
Individu pada level ini belum merasa puas terhadap perencanaan sistem konsep etika. Level ini terdiri dari 2 tahapan yaitu:
1. Heteronomous Morality
Individu cenderung egois, lebih memikirkan kesenangan pribadi tanpa memikirkan orang lain. Jika mereka memilih mengerjakan sesuatu yang tidak mereka senangi lebih disebabkan karena ketakutan akan hukuman bukan karena nilai pekerjaan atau kesenangan untuk hidup yang sesuai. Dengan kata lain, mereka berperilaku baik untuk menghindarkan diri dari hukuman.
2. Individualism
Individu lebih memilih konsep etika yang umum dan terutama yang berhubungan dengan pemenuhan dan pemuasan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain, mereka mempunyai pendapat bahwa “ kamu pukul saya maka saya akan memukul kamu”. Individu dalam tahap 2 ini adalah anak-anak yang sedang berkembang, tetapi beberapa anak yang lebih tua dan orang dewasa (khususnya penjahat) tidak pernah keluar dari tahap ini.
Level II: Konvensional Etika
Individu yang berada pada level konvensional etika berpikir mendalam tentang sosialisasi yang mereka terima.
3. Keuntungan dari hubungan yang diharapkan, hubungan, nilai-nilai individu.
Anak-anak pada tahap 3 mengidentifikasi orangtuanya dan figur orang dewasa lainnya. Orientasi anak anak: berusaha menjadi seperti seorang yang terkenal dan hidup sebagaimana yang diharapkan, sebagai anak, saudara, teman dll. Mereka berusaha melakukan peran yang baik, menunjukkan kepercayaan dan loyalitas. Dengan kata lain mereka berlaku baik untuk memperoleh persetujuan orang dewasa bukan untuk menghindar dar hukuman. Individu yang berkembang dari tahap 3 ke tahap 4 berubah dari focus pada kesenangan orang lain menjadi orientasi yang lebih umum
4. Sistem Sosial dan Prinsip (Benar dan Salah).
Individu pada tahap 4, stress pada kebutuhan sosial dan pada pemenuhan kewenangan dan peraturan.
Pada umumnya, pelajar sekolah menengah dan atas berada pada tahap 3 dan 4 dalam tangggung jawab moralnya. Pada kenyataannya, mereka beranggapan hukum harus ditaati oleh semua orang.
Level III Pascakonvensional
Individu pada level pascakonvensional memiliki konsep moral yang lebih terintegrasi.
5. Sosial dan hak perseorangan
Individu mulai melihat hukum lebih fleksibel, perubahan hukum dan aturan dapat diterima jika masyarakat menyetujui sehingga orang dapat hidup damai. Mereka menyadari bahwa hukum dapat dirubah asalkan tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat/sosial dan nilai dasar seperti kebebasan dan keadilan. Pelanggaran hukum dan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu
6. Prinsip-prinsip etika
Individu memiliki kejelasan konsep mengenai prinsip-prinsip universal seperti kejujuran, keadilan, dan harga diri manusia.
Sulit untuk membedakan tahap 5 dan 6 secara jelas. karena hanya sedikit orang yang mencapai tahap ini. Sebagai contoh menjadi orang yang mengetahui tidak hanya untuk mengajarkan moral tapi juga memiliki kemampuan untuk bangkit dan jika perlu menderita demi keyakinannya (contoh: Socrates, Jesus, Gandhi, Martin Luther King Jr.)
PENUTUP
Watak dan pribadi orang dewasa tidak terlepas dari pengalaman-pengalaman masa lalu, khususnya pada masa kanak-kanak. Hal ini menunjukkan bahwa, setiap periode perkembangan berhubungan dengan periode perkembangan sebelumnya. Secara tidak langsung, setiap periode perkembangan akan memberi makna tersendiri dalam pembentukan karakter/sikap masing-masing individu. Oleh karena, tidak ada individu yang memiliki karakter yang sama satu dengan yang lainnya. Dalam perkembangan, sangat penting bagi pendidik untuk mengetahui permasalahan yang terjadi pada anak didiknya, sehingga peran pendidik bukan hanya sebagai pengajar tetapi juga dapat membantu anak didik dalam melewati setiap tahap perkembangannya.
PENDAHULUAN
Sebagai individu, manusia tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan merupakan suatu proses perubahan kuantitatif dalam diri individu, misalnya dari kecil menjadi besar. Sedangkan perkembangan merupakan suatu proses perubahan kualitas dalam diri individu. Pertumbuhan maupun perkembangan seseorang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya permasalahan dalam setiap tahap perkembangan dan cara mengendalikan permasalahan tersebut. Oleh karena itu tugas utama dari seorang pendidik adalah memberi fasilitas dan membantu anak dalam menghadapi masalah dalam setiap tahapan perkembangan.
PERBEDAAN FAKTOR GENETIK DAN FAKTOR LINGKUNGAN
Setiap proses perkembangan masing-masing individu memiliki pola yang khas, dimana tidak ada satu individu yang identik sama. Oleh karena itu, masing-masing anak akan tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang unik. Sebagai sebuah proses, perkembangan individu dipengaruhi oleh banyak faktor. Secara garis besar, faktor yang mempengaruh seseorang adalah faktor genetik dan faktor sosial.
Faktor genetik merupakan faktor dalam diri individu yang diwariskan dari orang tuanya meliputi bakat, pembawaan, potensi-potensi psikis dan fisik. Sedangkan faktor sosial merupakan faktor dari luar individu meliputi kondisi lingkungan yang terjadi dalam proses perkembangan baik yang mendukung maupun tidak.
Pertentangan terjadi antara para ahli untuk menyatakan faktor mana yang lebih berpengaruh pada pembentukan karakteristik/perilaku individu.
Sebagai contoh adanya pengaruh genetic/hereditas dalam perkembangan adalah adanya perbedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin. Pada kenyataannya, anak laki-laki cenderung lebih aktif, memiliki inisiatif, agresif dan berorientasi fisik dalam memanipulasi objek. Sedangkan anak perempuan, cenderung pada mengobservasi lingkungan daripada memanipulasi objek, dan mereka lebih memperhatikan, mendengarkan dan verbalizing. Anak perempuan juga cenderung lebih matang secara fisik terutama pengendalian psikologis sehingga cenderung untuk berfungsi secara efisien.
Besarnya pengaruh genetic bukan berarti mengecilkan pengaruh lingkungan. Pada kenyataannya seorang anak yang aktif dan memiliki saudara atau anak tua lebih memilih menghabiskan waktunya dengan bermain adu fisik, tetapi anak yang tidak memiliki teman bermain menghabiskan banyak waktunya untuk mengamati/mempelajari lingkungan fisik. Kenyataan tersebut didukung oleh Hesmann dkk. 1984; Patterson dan stouthamer-Loeber. 1984; dan Steinmetz.1977 yang menyatakan bahwa anak laki-laki yang dibesarkan dilingkungan yang brutal/sadis kemungkinan akan memiliki tindakan yang mengarah pada perkelahian dan tindakan yang tidak menyenangkan terhadap temannya (bullying). Sedangkan Maccoby dan Martin, 1983; Rohner dan nielsen, 1978; Staub, 1979) menyatakan bahwa anak-anak yang sama tapi dibesarkan dalam lingkungan yang menyenangkan, akan lebih manusiawi, cenderung menjadi percaya diri, tapi tidak agresif dan cenderung menjadi pemimpin. Berdasarkan hal tersebut, meskipun pengaruh biologi/genetik dapat dipastikan membentuk perilaku individu dan sosial, pengaruh lingkungan berinteraksi dengan genetic pada akhirnya mempengaruhi kebiasaan.
Pada beberapa kasus, kedua faktor tersebut memiliki pengaruh yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh pada dua kasus berikut: seorang anak yang lahir sempurna (tanpa cacat) apakah dapat dipastikan akan menjadi seorang periang apabila lingkungan selalu mencela semua perbuatannya. Atau apakah seorang anak yang lahir dalam kondisi cacat juga dapat dipastikan akan menjadi seorang yang periang apabila didukung oleh lingkungan yang nyaman. Dalam hal ini tidak dapat dipastikan mana yang lebih berpengaruh.
Oleh karena itu, dalam hal pendidikan atau proses belajar mengajar penting untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan individu baik genetik maupun lingkungan. Sehingga pendidik dapat menentukan sikap dalam menghadapi permasalahan di setiap tahapan perkembangan individu.
TEORI TAHAPAN ERICKSON
Erickson mengidentifikasi bahwa terdapat 8 tahapan dalam siklus hidup, dimana 6 tahap berada pada sebelum dan masa sekolah (termasuk universitas). Masing masing tahap mengandung permasalahan utama dalam perkembangan, dan keberhasilan dalam mengendalikan permasalahan yang terlihat sebagai gangguan dalam perkembangan secara umum selama dan setelah tahapan.
Delapan tahapan tersebut adalah
1. Tahap I yang disebut juga tahap awal kehidupan/bayi
Pada tahap ini, permasalahan terutama pada rasa percaya dan tidak percaya. Pada tahap ini, individu memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada orang lain.
2. Tahap II yang disebut juga awal masa kanak-kanak (bawah tiga tahun)
Pada tahap ini, permasalahan terutama pada keinginan akan kebebasan (otonomi) melawan rasa malu dan tidak mau kalah. Pengalaman manusia yang terdapat disini adalah transisi dari diperlakukan sebagai bayi yang selalu membutuhkan pertolongan menjadi anak-anak yang mampu dalam pengontrolan diri dan kemudian diharapkan untuk mematuhi aturan yang diberikan. Jika sosialisasi diberikan pada waktu dan metode yang tepat, anak-anak kemungkinan akan menerimanya dengan mudah tanpa merasa kehilangan kebebasan mereka.
3. Tahap III yang disebut juga pertengahan masa kanak-kanak
Pada tahap ini, terjadi masalah dalam rasa inisiatif melawan perasaan bersalah. Pada tahap ini anak cenderung berorientasi pada perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan sehingga seringkali menunjukkan alat kelaminnya pada orang lain. Pengalaman pada tahap ini merupakan usaha membangun ketertarikan pada dirinya, termasuk ketertarikan untuk menunjukkannya pada orang lain. Pada tahap ini, anak-anak perlu diperlakukan dengan keramahan dan selalu diberi dukungan untuk membangun rasa percaya diri dalam mengambil tindakan bila menemukan sesuatu yang baru dan menunjukkan. Jika aktivitas tersebut dibiarkan, anak-anak kemungkinan akan mengembangkan perasaan malu dan bersalah dan pada akhirnya memiliki perasaan ketakutan akan kesalahan atau penolakan pada kebebasan dalam menentukan dan pencapaian tujuan.
4. Tahap IV yang disebut juga tahap akhir masa kanak-kanak
Pada tahap ini, permasalahan terutama pada ketekunan/kerja keras melawan rasa rendah diri. Pada tahap ini Erikson menekankan pada perubahan akbat pindah dari rumah ke lingkungan sekitar/tetangga, kelompok, dan sekolah.
Perubahan ini menimbulkan peran baru dan anak-anak biasanya termotivasi untuk memenuhi peran tersebut. Dalam kelompok, individu belajar untuk bekerjasama, berbagi, dan bersama dengan orang lain. Di sekolah berarti menyelesaikan tugas sekolah dan berperan sebagai murid.
5. Tahap V yang disebut juga tahap remaja/puber
Sehubungan dengan pubertas, Erickson menulis tentang permasalahan dalam pembuktian kemampuan diri dan kekacauan peran. Erickson menyadari bahwa krisis identitas pada sebagian besar remaja seperti mereka mulai mempertanyakan tentang keyakinan, perilaku/kebiasaan dan sistem nilai yang telah mereka lakukan selama ini tanpa berpikir.
6. Tahap VI yang disebut juga tahap awal dewasa
Permasalahan utama pada tahap ini adalah kekariban melawan pengasingan diri.
7. Tahap VII yang disebut juga tahap pertengahan dewasa
Permasalahan pada tahap ini adalah menyamaratakan melawan ketidakaktifan. Pada tahap ini, orang dewasa berperasaan bahwa mereka memliki kemampuan untuk memiliki anak dan mengasuh anak tersebut dengan keuntungan dan kerugiannya.
8. Tahap VIII yang disebut juga tahap akhir dewasa
Fase terakhir, penggabungan melawan keputusasaan menunjukkan pada tingkatan dimana orang yang berumur menilai kematian adalah hal nyata. Pada individu yang berpikir positif tentang kematian dan dapat melihat kebelakang tentang kehidupan dengan rasa puas, mereka akan merasakan bahwa mereka sukses, bahagia dan berguna. Individu yang tidak dapat memecahkan permasalahan ini akan merasa ketakutan atau menolak kematian pada akhirnya mereka merasakan bahwa hidupnya penuh kegagalan.
PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN ANAK YANG EFEKTIF
Pengalaman manusia menunjukkan adanya tahapan perkembangan dan permasalahan akan dihadapi, kesiapan dalam merespon setiap permasalahan tergantung pada kualitas sosialisasi yang anak-anak peroleh, terutama kualitas orang tua di rumah. Berikut ini adalah prinsip-prinsip pembelajaran anak yang efektif sehingga diperoleh perkembangan anak-anak yang optimal:
1. Menerima anak sebagai individu
2. Berkomunikasi dengan ramah dan menciptakan hubungan yang bersahabat/baik
3. Metode yang digunakan dalam mengajarkan adalah perintah dengan memberi perhatian pada anak tidak hanya menerapkan disiplin saja.
4. Menerapkan aturan dan batasan yang jelas dengan masukan dari anak dan luwes dalam menanggapi.
5. Menunjukkan keinginan untuk memperhatikan anak yang melawan tanpa alasan “menyerah pada hukum”
6. Menjelaskan dengan alasan yang dapat diterima dan dapat dipercaya.
7. Penekanan utama pada aturan moral dan memberi perhatian pada dampak setiap tindakan.
8. Melaksanakan sebaik berbicara tentang sistem nilai
SOSIALISASI DALAM KELAS
Teori erickson tentang tahapan perkembangan individu sangat berguna bagi guru dalam menolong muridnyanya untuk dapat mengendalikan masalah di setiap tahapan perkembangan.
Sebagai contoh murid pada tingkat awal biasanya bergulat dalam krisis inisiatif melawan rasa bersalah dan ketekunan melawan rasa rendah diri. Pada tahap ini, guru dapat membantu anak-anak dengan rasa malu dan rasa bersalah melalui usaha untuk meyakinkan mereka untuk menemukan,cara dalam memuaskan keingintahuan mereka dengan menjawab pertanyaan, memberikan saran dan mengambil inisiatif. Selanjutnya, guru dapat mendukung murid bahwa kesalahan dan kerugian akibat kerja yang buruk adalah normal dan sudah diperkirakan bukan disebabkan oleh rasa malu dan rasa salah.
MEMBANGUN KONSEP DIRI POSITIF
Guru dapat menolong muridnya untuk membangun harga diri tinggi dan konsep diri positive dengan berkomunikasi positif dan memberi tanggapan yang positif. Terutama pada persepsi murid tentang kemampuan akademik mereka dan kecepatan perkembangannya. Konsep diri positif juga dapat dibangun pada kemampuan lain yang tidak secara langsung berhubungan dengan perintah. Beberapa murid memerlukan arahan dalam menerima penampilan fisiknya atau membangun kepedulian kepada yang lain (apa yang kamu pikir tentang perasaan dia saat kamu mengatakan itu padanya?), kepedulian sosial (apa yang orang lain pikirkan tentang kamu saat kamu mengecewakan dia).
Kemungkinan lain dalam menolong mereka untuk dapat mengendalikan dan membangun kekuatan/kemampuan mereka, menambah kepercayaan diri dan menutupi kelemahan, dan menerima keterbatasan.
Guru tidak memiliki kesempatan yang sama dengan orang tua untuk mempengaruhi murid karena keterbatasan waktu dan interaksi mereka terbatas pada peran guru dan murid. Felker (1974) menyarankan beberapa prinsip bagi guru yang ingin meningkatkan konsep diri sehat pada muridnya yaitu:
1. Menghargai dirimu sebagai contoh kekuatan diri untuk mencapai kesuksesan;
2. Menolong murid untuk dapat mengevaluasi diri mereka secara realistik;
3. Mengajarkan mereka untuk membuat tujuan yang dapat dicapai;
4. Mengajarkan mereka untuk menghargai diri mereka;
5. Mengajarkan mereka untuk menghargai orang lain.
Beberapa perlakuan akan menolong murid belajar untuk mengidentifikasi, menilai, dan mengambil keputusan dalam mencapai kesuksesan. Felker menyarankan bagi guru yang mengajar remaja untuk:
1. Membiarkan mereka untuk membuat pilihan dan belajar untuk menerima semua konsekuensinya, tetapi dengan hubungan saling mendukung;
2. Menolong mereka untuk dapat mengendalikan pubertasnya dengan menjelaskan apa yang terjadi pada perkembangan fisik, sosial, dan emosi mereka;
3. Menolong mereka melihat dan menerima kenyataan bahwa beberapa keputusan merupakan pilihan yang mudah atau solusi yang sempurna, jadi negosiasi selalu terbaik.
PERKEMBANGAN MORAL/ETIKA
Anak tidak begitu saja tumbuh menjadi individu yang bermoral/beretika, kemampuan dalam menggunakan prinsip-prinsip etika sebagai arahan bagi kebiasaan sampai mereka masuk ke dunia nyata. Kadang-kadang selama tingkat dasar, mereka menemukan apa itu ketuhanan/agama yang biasa disebut “age of reason”. Yang ditandai dengan persepsi pengetahuan/identifikasi tentang perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi pada saat ini.
Piaget (1932) salah seorang yang pertama kali mempelajari perubahan dalam etika individu yang diikuti perubahan dalam perkembangan pengetahuan. Piaget menyatakan bahwa anak-anak yang menjadi terlalu egois/mementingkan diri sendiri dan mengembangkan kemampuan pengetahuannya memerlukan pemikiran tentang keberadaan orang lain, mereka mulai mengerti konsep etika seperti keadilan.
TEORI TAHAPAN KHOLBERG
Kohlberg (1969, 1984) menyempurnakan pemikiran piaget dalam teori tahapan dalam perkembangan judgment etika. Beberapa tahun dia menggunakan kata yang berbeda-beda dan perubahan urutan dalam tahapan, tetapi kohlberg mengkasifikasikan 3 level dalam pemikiran tentang etika dengan 2 tahap dalam setiap level.
Level I: Etika Pra-konvensional
Individu pada level ini belum merasa puas terhadap perencanaan sistem konsep etika. Level ini terdiri dari 2 tahapan yaitu:
1. Heteronomous Morality
Individu cenderung egois, lebih memikirkan kesenangan pribadi tanpa memikirkan orang lain. Jika mereka memilih mengerjakan sesuatu yang tidak mereka senangi lebih disebabkan karena ketakutan akan hukuman bukan karena nilai pekerjaan atau kesenangan untuk hidup yang sesuai. Dengan kata lain, mereka berperilaku baik untuk menghindarkan diri dari hukuman.
2. Individualism
Individu lebih memilih konsep etika yang umum dan terutama yang berhubungan dengan pemenuhan dan pemuasan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain, mereka mempunyai pendapat bahwa “ kamu pukul saya maka saya akan memukul kamu”. Individu dalam tahap 2 ini adalah anak-anak yang sedang berkembang, tetapi beberapa anak yang lebih tua dan orang dewasa (khususnya penjahat) tidak pernah keluar dari tahap ini.
Level II: Konvensional Etika
Individu yang berada pada level konvensional etika berpikir mendalam tentang sosialisasi yang mereka terima.
3. Keuntungan dari hubungan yang diharapkan, hubungan, nilai-nilai individu.
Anak-anak pada tahap 3 mengidentifikasi orangtuanya dan figur orang dewasa lainnya. Orientasi anak anak: berusaha menjadi seperti seorang yang terkenal dan hidup sebagaimana yang diharapkan, sebagai anak, saudara, teman dll. Mereka berusaha melakukan peran yang baik, menunjukkan kepercayaan dan loyalitas. Dengan kata lain mereka berlaku baik untuk memperoleh persetujuan orang dewasa bukan untuk menghindar dar hukuman. Individu yang berkembang dari tahap 3 ke tahap 4 berubah dari focus pada kesenangan orang lain menjadi orientasi yang lebih umum
4. Sistem Sosial dan Prinsip (Benar dan Salah).
Individu pada tahap 4, stress pada kebutuhan sosial dan pada pemenuhan kewenangan dan peraturan.
Pada umumnya, pelajar sekolah menengah dan atas berada pada tahap 3 dan 4 dalam tangggung jawab moralnya. Pada kenyataannya, mereka beranggapan hukum harus ditaati oleh semua orang.
Level III Pascakonvensional
Individu pada level pascakonvensional memiliki konsep moral yang lebih terintegrasi.
5. Sosial dan hak perseorangan
Individu mulai melihat hukum lebih fleksibel, perubahan hukum dan aturan dapat diterima jika masyarakat menyetujui sehingga orang dapat hidup damai. Mereka menyadari bahwa hukum dapat dirubah asalkan tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat/sosial dan nilai dasar seperti kebebasan dan keadilan. Pelanggaran hukum dan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu
6. Prinsip-prinsip etika
Individu memiliki kejelasan konsep mengenai prinsip-prinsip universal seperti kejujuran, keadilan, dan harga diri manusia.
Sulit untuk membedakan tahap 5 dan 6 secara jelas. karena hanya sedikit orang yang mencapai tahap ini. Sebagai contoh menjadi orang yang mengetahui tidak hanya untuk mengajarkan moral tapi juga memiliki kemampuan untuk bangkit dan jika perlu menderita demi keyakinannya (contoh: Socrates, Jesus, Gandhi, Martin Luther King Jr.)
PENUTUP
Watak dan pribadi orang dewasa tidak terlepas dari pengalaman-pengalaman masa lalu, khususnya pada masa kanak-kanak. Hal ini menunjukkan bahwa, setiap periode perkembangan berhubungan dengan periode perkembangan sebelumnya. Secara tidak langsung, setiap periode perkembangan akan memberi makna tersendiri dalam pembentukan karakter/sikap masing-masing individu. Oleh karena, tidak ada individu yang memiliki karakter yang sama satu dengan yang lainnya. Dalam perkembangan, sangat penting bagi pendidik untuk mengetahui permasalahan yang terjadi pada anak didiknya, sehingga peran pendidik bukan hanya sebagai pengajar tetapi juga dapat membantu anak didik dalam melewati setiap tahap perkembangannya.
Comments
Post a Comment